ketika aku mulai melihatnya...
dan semua dimulai... kisah itu...
Kamis, 27 Desember 2012
a.y.a.h
AYAH. LIHAT AKU!
Ini adalah sebuah kisah..
Tentang seorang anak…
Yang tidak menyadari…
Betapa berharganya…
Kasih sayang seorang ayah…
Teruntuk dirinya…
Oleh : Ramadhanur Kertaningrum
XII.IPA.I
SMA
“yah, besok Sherine ujian Bahasa Inggris, entar ayah ajarin
Sherine ya”, rajuk seorang anak kepada ayahnya.
“kenapa Sherine nggak belajar sendiri saja? Memangnya babnya
tentang apa?”,Tanya ayah.
“babnya reading yah…Sherine kan nggak begitu ngerti sama
kosa kata bahasa inggris. Ayah mau kan ajarin Sherine?”, rajuknya ;agi.
“iya iya. Tapi ayah makan dulu ya”, pinta ayah.
“oke yah”, jawab Sherine dengan nada gembira.
Perkenalkan, aku ada Sherine
nadia Putri. Aku adalah anak tunggal. Sekarang aku duduk di bangku Sekolah
Dasar kelas 5. Aku lahir di Jakarta, tetapi karena ayah dipindah tugaskan ke
Surabaya, maka kami sekeluarga pindah ke Surabaya. Oh iya, ayahku adalah
seorang dosen universitas di Surabaya, tepatnya di fakultas Ekonomi. Tetapi,
dosen bukanlah pekerjaan utama ayahku. Pekerjaan utamanya adalah kepala cabang
di salah satu perusahaan di kota Surabaya. Sedangkan bunda hanyalah seorang ibu
rumah tangga. Satu hal lagi yang perlu diketahui. Ayahku GALAK!!!
“trus kalo ‘tail’ artinya apa?”, Tanya ayah dengan suara
agak keras.
“hmmm…nggak tau yah:, jawabku seadanya.
“itu ka nada kamus di lemari, kenapa kamu nggak mencoba
mencari? Sekarang diambil dulu kamusnya!”, bentak ayahku lagi.
Akupun
mengambil kamus di lemari dan membawanya ke depan ayah.
“coba sekarang dicari artinya’tail’ itu apa”, perintah
ayahku.
“ini yah, artinya ekor”, jawabku.
“sekarang udah tau kan?”, Tanya ayahku.
“sudah yah”.
“kamu artiin satu cerita itu sekarang”, perintahnya.
Huft.
Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 23.30. tapi, aku masih belum selesai
menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia.
Selang
beberapa menit kemudian…
“gimana? Udah selesai belum?”, Tanya ayah sedikit melembut.
“udah kok yah”.
“mana coba ayah liat”.
Ayahpun
memeriksa jawabanku. Alhamdulillah tidak ada yang salah. Kalau ada mungkin aku
bakal lebih lama lagi buat dicramahin kayak tadi.
“ya sudah, sekarang kamu tidor, besok biar nggak kesiangan”.
“iya ayah.Sherine tidur dulu ya…”, pamitku kepada ayah.
Bukannya
aku pergi ke kamarku, tetapi aku malah ke kamar bunda.
“huh…sebel aku sama ayah”, rengekku sambil mendekati bunda.
“memangnya ayh kenapa lagi sih Sher? Kok kamu itu sering
banget sebel sama ayah”, heran bunda.
“habisnya sih ayah itu jadi orang kok galak buanget. Bunda
kok dulu mau sih sama ayah? Heran deh”, ocehku kepada bunda.
“hahaha…itu namanya ayah sayang sama Sherine. Makanya
Sherine diajarin yang betul-betul bener sama ayah. Biar Sherine itu nggak
sering salah”, nasihat bunda dengan lembut.
“tapi kan Sherine masih kecil, masak dibentak-bentak terus.
Sherine kan nggak suka bun”.
Belum
selesai perbincangan antara aku dan bunda, tiba-tiba ayah masuk ke dalam kamar.
Karena masih sebal dengan “kejadian” tadi, akupun langsung ngeluyur pergi ke
kamarku tanpa memedulikan usapan tangan ayah ke kepalaku.
“sherine kenapa bun?”, Tanya ayah heran.
“nggak tau itu, lagi ngambek mungkin. Ayah sih bentak-bentak
Sherine terus”, bela bunda.
“ya itu kan juga demi kebaikan Sherine. Oh ya bun, kemarin
ayah habis liat-liat tempat kursus musik. Apa lebih baik Sherine dileskan gitar
di sana ya?”.
“les? Kenapa nggak privat aja? Sherine kan nggak begitu suka
tempat yang banyak orangnya?”, usul bunda.
“iya juga ya. Besok coba ayah
Tanya lagi deh. Ada nggak yang buat les privat di rumah saja”.
Di
kamar Sherine…
“huuh…ayah tuh jadi orang keras
kepala banget sih. Sherine tuh nggak suka dibentak-bentak kayak tadi. Tau gitu
mending nggak usah belajar sama ayah deh daripada kena bentak. Sebel sebel. Ah
ngantuk ah, mau bobo dulu”, omel Sherine di depan cermin kamarnya.
Suasana
ujian berjalan dengan tenang. Alhamdulillah semua pertanyaan dapat ku jawab
dengan lancar.
“gimana ulangannya tadi? Bisa kan?”, Tanya bunda kepadaku
sepulang sekolah.
“Alhamdulillah sukses 100% bun”, jawabku senang.
“bisa juga kan akhirnya. Gih bilang makasih dulu ke ayah”.
“ah nggak mau ah”, tolakku.
“loh kok nggak mau? Kan semalam yang ngajarin Sherine ayah”.
“pokoknya nggak mau! Ayah galak!”, bentakku kepada bunda.
Akupun
pergi meninggalkan bunda yang masih terheran-heran dengan sikapku.
Malam
harinya di ruang makan…
“sherine besok mulai privat gitar ya”.
“loh? Ayah kok ngggak bilang dulu ke Sherine?”, heranku.
“kenapa harus dengan persetujuan Sherine? Kan jelas-jelas
music itu bagus. Jadi ayah yakinnya kamu pasti mau belajar music. Ayahnya aja
bisa, amasak anaknya enggak”.
“tapi Sherine tuh nggak suka music yah”.
“dicoba dulu aja. Siapa tahu kamu nanti malah cinta banget
sam music”.
“huft… iya deh. Sherine coba dulu”.
Aku
tak tahu sampai kapan ayah akan seperti ini.
Akhirnya
aku pun les privat gitar di rumah. Gurunya cowok, namanya Pak Anwar.
“coba kita belajar dari dasar dulu ya…kunci A sama D dulu”,
pinta Pak Anwar.
“kok susah ya…jariku pendek tau pak”, keluhku.
“kan baru belajar, jadi memang masih susah. Entar kalu udah
biasa pasti bisa”.
“oke oke”.
Les
gitar yang aku jalani berlangsung lumayan lama. Sekitar 1,5 tahun. Itupun
karena terpaksa. Ayahnya yang suka music, kenapa anaknya juga harus belajar
musik? music itu kan susah.
Bulan berganti bulan…
Tahun berganti tahun…
Kini
aku memasuki usia 12 tahun dan duduk di bangku SMP kelas satu. Banyak hal yang
telah diajarkan oleh kedua orangtuaku, terutama ayah. Ayah sangat memperhatikan
masalah belajarku, apalagi MIPA dan Bahasa Inggris. Dan tidak hanya itu, ayah
juga selalu memperkenalkan music dan berbagai macam olah raga. Renang dan bulu
tangkis di antaranya. Sayangnya, gitar yang sudah aku pelajari selama 1,5 tahun
nyaris sama sekali tidak ada hasilnya.
Sementara
oalh raga renang, Alhamdulillah ilmu yang diajarkan oleh pelatihku bisa aku
tangkap dengan baik. Kalau bulutangkis, aku diajarkan oleh ayahku sendiri.
Sampai terkadang aku lelah sekali “dipermainkan” saat bermain bulu tangkis
bersama ayah.
Esok
harinya di kelas…
“sher…kamu bisa main gitar kan?”, Tanya Nina, salah satu
teman sekelasku.
“bisa sih…tapi udah agak lupa tauk Nin”.
“yah kok bisa lupa sih. Bulan depan tuh ada acara pensi dari
anak kelas 3. Ya lumayanlah kalau kita yang masih junior ini ngasih hiburan
gitu”.
“iya sih. Tapi aku emang bener-bener llupa. Kalau metodhenya
sih lumayan inget. Tapi kuncinya itu yang lupa”.
“coba dulu yuk. Sapa tau bisa gitu. Suaramu kan juga lumayan
bagus tuh Sher”, rayu Nina.
“iya deh”.
Huft…
padahal akukan nggak suka music. Tapi ini peluang besar juga buatku untuk
menguji kepercayaan diriku. Lagian kasihan ayah. Masak anak semata wayangnya
ini nggak bisa main music kayak ayahnya. Ah coba aja deh.tapi ayah nggak boleh
tau hal ini. Ayahkan taunya aku nggak suka music. Gengsi!
“eh tapi aku belajarnya nggak mau di rumahku lho ya”.
“kenapa gitu Sher?”.
“ya pokoknya lah. Gimana?”.
“ya udah deh di rumahku aja atau enggak di rumah
temean-teman yang lain”.
“sip makasih”, ujarku sambil memeluknya.
“ihh ilfeel tauk”.
“haha…ya nggak papa lah sekali-kali”.
“wuuu.. aneh deh ini anak”.
Aku pun
pulang ke rumah dengan hati gembira. Nggak tahu kenapa aku pengen banget
berterimakasih sama ayah buat segalanya. Mungkin dulu pemikiranku masih terlalu
dini untuk mempelajari karakter ayah. Padahal, sebenarnya ayah itu baik, baik
banget malahan. Cuma, akunya aja nih yang bandel. Diomongin bener-bener malah
ngebantah mulu. Syukurlah kini aku telah sadar, bahwa betapa berharganya kasih
sayang ayah yang beliau berikan kepadaku.
“kenapa Sher? Kok senyam-senyum sendiri?”, Tanya bunda
mengagetkanku.
“eh bunda. Nggak ada apa-apa kok”, ucapku berbohong.
“seneng kenapa hayo? Lagi jatuh cinta ya”, goda bunda.
“ih bunda tuh apaan sih. Enggak juga bun”.
"Ah masak?”.
“bunda tuh lhooo…”.
Aku pun
mengejar bunda sampai kami kelelahan berlari dan saling menghindar. Dan
akhirnya berhenti.
“capek tau bun”.
“ya kamu sih pake kejar-kejar bunda segala”.
“ya masalahnya bunda godain Sherine terus sih”.
“tapi suka kaaan…”.
“tuh kan bunda mulai lagi”.
Kami
pun berkejar-kejaran lagi di dalam rumah. Ibu dan anak macam apa ini? Haha
Satu bulan kemudian…
“gimana? Udah siap belum kalian?”, Tanya salah satu panitia
acara pensi.
“tinggal nunggu Sherine aja kak. Katanya dia kejebak macet.
Lagi ada demo di depan kantor walikota”.
“oh gitu. Ya udah, segera hubungin dia lagi aja. Masalahnya
bentar lagi kalian maju”.
“iya kak. Kami akan segera ngehubungin Sherine”.
“emang dia megang apa?”.
“gitar sama vocal kak”.
“wah penting juga tuh. Ya udah, hubungi segera gih. Aku mau
ke depan dulu ya. Good luck deh buat kalian!”, sambil menepuk salah satu bahu
anak-anak itu.
“makasih kak”.
“kembali kasih”.
Sepuluh
menit kemudian…
“aduh maaf ya. Tadi tuh bener-bener macet”.
“iya-iya nggak papa. Udah yuk kita kumpul bentar. Bentar
lagi maju nih kita”.
“oke oke”.
Baru
kali ini kami tampil di atas panggung. Betapa gugupnya kami. Apalagi tidak ada
persiapan sama sekali sebelum maju. Padahal seharusnya ada. Gara-gara macet
tadi sih. mana yang dating juga lumayan banyak. Semoga hasil yang kami harapkan
dapat terwujud. Amin.
“oke. Kali ini adalah hiburan dari kelas 7A yang diketuai oleh
Sherine Nadia Putri sebagai gitaris dan vokalis. Wah wah, multitalent sekali ya
anak ini. Baik, untuk mempersingkat waktu, mari kita sambut perwakilan dari
kelas 7A. beri tepuk tangan yang meriah”, ucap seorang MC pada acara itu.
Tepuk
tangan dari para undangan semakin membuat kami grogi. Tapi untunglah, karena
tidak semua orang yang hadir mengenal siapa kami.
“assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, salamku
kepada semua yang hadir.
“wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”, jawab mereka
serempak.
“oke. Kami di sini berdiri sebagai
perwakilan dari kelas 7A yang akan membawakan 2 buah lagu yang sudah tidak
asing lagi bagi kalian. Well, Let’s check it out!”.
Kami pun
sukses membawakan 2 buah lagu yang berjudul SAHABAT dan SEPERTI YANG KAU MINTA.
Tepuk tangan yang meriah mengakhiri lagu yang kami bawakan. Bahkan ada saja
yang meminta kami untuk menyanyikan lagu lagi.
“wah wah…kayaknya bakalan punya
banyak fansnya nih Sherine dkk. Selamat ta buat kalian karena telah merebut
hati para penonton. Cie cie. Oke kita lanjutkan ke inti acara…”, sang MC pun
melanjutkan acara pensi tersebut.
“huh… Alhamdulillah ya akhirnya
lancar juga”, ucap salah satu personal kami.
“he’em..kalian nggak tahu ya aku
tadi nyanyi lho groginya minta ampun”.
“haha… tapi bagus kok Sher.
Berterimakasih tuh sama ayahmu udah nurunin kemampuan yang bagus dan ditambah
les privat gitar”.
“iya deh entar aku bilang ke
ayahku”.
“lagian rugi banget kali Sher.
Masak udah les lama-lama tapi nggak dikembangin”.
“hehe”
Makasih
ayah, ucapku dalam hati.
Hari ke
hari usiaku terus bertambah. Kini aku memasuki usia remaja. Usia para anak
Sekolah Menengah Atas (SMA). Aku bertekad untuk bisa mengucapkan terimakasihku
kepada ayah. Mengingat usiaku yang bertambah terus dan kondisi ayah yang
semakin tua.
“sher, besok mau nyoba manggung nggak di sekolahnya
temenku?”, ajak salah satu teman seangkatanku, tapi tidak sekelas.
“acara apa emangnya?”.
“biasalah pensi. Ya lumayan gitu, kita kan entar juga
dibayar mereka”.
“hmmm… boleh deh. Anak-anak yang lain gimana? Pada mau
ngggak tuh?”.
“mereka udah ku tanyain satu-satu kok. Kata mereka sih
oke-oke aja”.
“ya udah deh aku ngikut aja”.
“oke-oke. Kalau gitu aku hubungin temenku dulu ya”.
“sip”.
Ya
Allah, aku pengen ayah tau kalau aku ternyata juga mewarisi bakat ayah.
Menyanyi dan bermain music. Tapi kapan ya aku bisa nunjukinnya? Aku baru sadar,
kalau ternyata aku punya seorang ayah yang benar-benar hebat, batinku.
Tak
terasa kini aku sudah menduduki bangku kelas XII SMA. Secepat itu ya aku tumbuh
besar seperti ini.
“yah, besok aku kuliah kira-kira ambil jurusan apa ya
bagusnya?”.
“kenapa nggak ambil kedokteran saja?”.
“ya ampun yah. Nilai biologiku aja nggak nyampe 8. Lagian
Sherine nggak begitu suka sama pelajaran itu. Takutnya kalau ternyata lolos ke
kedokteran tapi malah nggak bisa ngikutin kan rugi di Sherine juga yah”.
“coba aja Farmasi UGM kalau gitu”.
“hmm… boleh juga yah. Nilai kimia Sherine juga mendukung.
Ayah tuh pengen banget ya Sherine masuk ke UGM?”.
“haha… ayahkan alumni sana. Jadi ayah juga pengen anak ayah
nanti bisa jadi alumni UGM juga”.
“iya deh yah entar Sherine bakal berusaha”.
“nah gitu dong. Itu baru namanya anaka aya”.
“hehe…oke-oke”.
Hari
ini tepat tanggal 7 November. Hari ulang tahun ayah.
“bun, hari ini ayah ulang tahun kan?”.
“iya. Kenapa Sher?”.
“nggak papa kok bun”.
Wah
ayah ulang tahun. Enaknya ngucapinnya kayak gimana ya? Pengen yang nyentuh
tauk.tapi apa ya? Oh ya, aku ada ide!
“halo. Dengan PT.CENCON SURABAYA, ada yang bisa dibantu?”,
jawab salah seorang pegawai ayahku.
“halo mbak, ini Sherine. Ayah ada nggak?”.
“oh Sherine, ada kok, sebentar ya…”.
“ok”.
Tak
lama kemudian…
“halo Assalamu’aikum Sher. Ada apa nak?”.
“wa’alaikumsalam. Nggak ada apa-apa kok yah. Ayah lagi sibuk
nggak?”.
“kenapa emangnya?”.
“lagi sibuk dulu nggak?”.
“kenapa Sher?”.
“hmm…ayah, ayah dengerin Sherine nyanyi ya…”.
“oh…iya iya”.
“teringat masa kecilku. Kau peluk dank au manja…”, lagupun
kunyanyikan hingga akhir bait.
Nyaris
saja aku menangis saat menyanyikan lagu itu. Tapi aku ingat, ini adalah hari bahagia
ayah. Jadi, aku tidak boleh menangis.
“sudah yah. Selamat ulang tahun ya ayah”, ucapku kepada ayah
dengan nada benar-benar bahagia.
“haha…iya iya…makasih ya nak. Itu judul lagunya apa?”.
“yang terbaik bagimu”.
“lagunya Melly itu bukan?”.
“bukan yah…Melly itu nyanyi yang judulnya Bunda”.
“ooh… trus yang tadi itu lagunya siapa Sher?”.
“tadi itu lagunya Ada Band sama Gita Gutawa”.
“kok Sherine inget hari ini ulang tahun ayah?”.
“iya dong. Sherine kan pengingat yang baik”.
“haha…gitu ya? Tapi kok lagunya nggak ada kata-kata selamat
ulang tahun Sher?”.
“loh kan nggak harus ada yah. Yang penting do’anya Sherine
kayak lagu tadi”.
“oh iya iya. Semoga dikabulkan ya apa do’anya Sherine”.
“iya. Amin…seduah dulu ya yah, Sherine mau belajar.
Assalamu’alaikum”.
“wa’alaikumussalaam”.
Gagang
telepon rumahkupun ku tutup.
“ya Allah, terimakasih. Aku senneg banget, akhirnya bisa
bicara se”romantic” itu ke ayah. Dan tadi ayah tertawa! Bukan menangis! Padahal
tadi itu aku udah pengen banget nangis. Terimakasih ya Allah, aku diberi
kesempatan seberharga itu. Pokoknya aku harus nunjukkin ke ayah kalau aku bisa
menjadi anak yang diharapkan ayahku dan bundaku juga tentunya”, janjiku di
dalam hati.
Try out dan ujian pun berlalu.
Hari ini aku mengajukan nilaiku untuk mengisi persyaratan pada SNMPTN jalur
undangan. Dan pilihanku pastinya adalah Farmasi UGM. Aku harap semoga aku bisa
masuk ke sana dan menjadi alumni UGM seperti ayah. Amin.
Waktu
tak terasa bergerak begitu cepat. UAN, UAS, dan Ujian Praktek telah kulalaui.
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh semua siswa dan siswi kelas XII,
yaitu wisuda. Dan kebetulan aku juga diberi kesempatan untuk menyanyikan
beberapa buah lagu di atas panggung wisuda ebrsama-sama teman-temanku tentunya.
“halo ayah”.
“iya kenapa Sher? Kok buru-buru?”.
“ayah entar dating kan?”.
“wah ayah lagi sibuk Sher. Kebetulan bos ayah lagi ke kantor
yang di Surabaya ini. Maaf ya”.
“ayolah yah…masak Cuma bunda aja yang dating? Sherine maunya
ayah juga dating”.
“hmm… entar ayah coba dulu deh. Tapi ayah nggak janji tepat
waktu ya”.
“nggak papa yah. Yang penting ayah bisa dating di wisudaku”.
“iya anakku sayang”.
“oke ayah, udah dulu ya, acaranya mau di mulai.
Assalamu’alaikum”.
“wa’alaikumsalaam”.
Acara
wisuda pun di mulai dengan lancar. Aku menunggu ayah. Tapi, mengapa ayah tidak
dating-datang juga?
“siswi dengan nilai UAS terbaik tahun ini adalah Sherine
Nadia Putri dari kelas XII.IPA.1 dengan rata-rata nilai 89,7. Kepada ananda
Sherine diharapkan untuk naik ke atas panggung”.
Aku
pun maju ke atas panggung dengan tepuk tangan yang meriah dari para undangan,
teman-teman, dan tentunya guru-guruku. Tapi…Ayah belum juga dating
“hari ini anakku wisuda. Aku harus bia dating untuk
melihatnya. Semoga aku tidak terlambat”, harap lelaki itu di dalam hati.
Dengan
kecepatan penuh lelaki itu mengendarai motor menuju gedung wisuda. Tetapi, di
tengah perjalanan, ada sebuah motor dengan kecepatan penuh pula melaju
berlawanan arah dengannya. Karena tak sempat menghindar, ia terlempar keras ke
tengah jalan dan terkindas mobil yang sedang melaju. Nyawa lelaki itu tak
terselamatkan…
Di
gedung wisuda…
“ayah mana ya?”, batinku cemas.
“selamat ya Sherine. Nilainya dipertahankan terus ya di
kuliah nanti”.
“insya Allah bu”, aku mencium tangan kepala sekolahku.
Tiba-tiba
terlihat keributan di sekitar tempat bunda duduk. Bunda….pingsan? ada apa ini?
Aku segera berlari turun dari atas panggung. Firasatku tidak enak. Entah
mengapa, yang terlintas dibenakku adalah ayah. Ya Allah… semoga tak ada hal
buruk yang terjadi pada kedua orang tuaku.
Wali
kelasku yang lebih dulu turun langsung memelukku erat. Aku bingung. Beliau
membisikkanku sebaris kalimat yang membekukanku seketika.
“innalillahi wainna ilaihi roji’un”, hatiku pilu diiris
sembilu.
Sungguh,
aku…
Bulir
air mataku menetes. Tak terasa semakin deras. Aku dan beberapa tamu undangan
segera mebawa bunda ke UKS.
Satu
jam telah berlalu. Tetapi bunda tak sadarkan diri juga. Aku sudah tak peduli
lagi dengan prosesi wisuda. Padahal seharusnya sekarang, aku dan teman-teman menyanyi
di atas sana. Yang sedang kupikirkan saat ini adalah ayah. Aku masih saja tak
percaya akan hal itu.
Lama
berpikir tentang ayah, akhirnya akupun tertidur di samping kasur bunda.
“ayah lihat ini!”, banggaku kepada ayah sambil
memperlihatkan serifikat yang menunjukkanku sebagai siswi teladan di seolah.
“aku berhasil ayah”.
“Alhamdulillah. Betul kana pa kata ayah, kalau kamu mau
berusaha keras, pasti bisa. Sekarang Sherine mau minta hadiah apa dari ayah?”,
Tanya ayah kepadaku.
“Sherine nggak mau apa-apa. Sherine Cuma mau ayah selalu ada
bersama Sherine”, pintaku.
“umur ayah kan belum tentu
panjang Sherine”, jawab ayahku.
Teringat
masa kecilku…kau peluk dank au manja…indahnya saat itu…
Aku pun
tersentak bangun dari tidurku. Ternyata itu suara ringtone handphoneku.
“ya Allah, aku habis bermimpi tentang ayah”,batinku.
Aku
segera mengambil handphoneku yang dari tadi ku tinggal di dalam tas bunda.
Begitu banyak sms dari teman-teman yang mengucapkan selamat dan juga duka cita
atas meninggalnya ayah. Tapi…tunggu…ada sms dari AYAH! Nyaris saja air mataku
menetes lagi jika mengingat ayah. Lalu ku buka sms dari ayah.
“Sherine sayang, ini ayah sedang usahakan agar bisa
menghadiri acara wisudamu. Tapi maaf, sepertinya akan benar-benar terlambat.
Maaf ya sayang. Ayah yakin, walaupun ayah tidak bisa hadir, Sherine sudah
memberikan yang terbaik untuk ayah, seperti lagu yang Sherine nyanyikan saat
ulang tahun ayah. Ingat kan Sher? Makasih ya sayang, ayah sebenarnya terharu
sekali mendengar Sherine menyanyikan lagu itu untuk ayah. Ayah tidak menyangka
sekali. Ayah berdo’a semoga Sherine kelak bisa menjadi orang yang berguna bagi
siapa saja. Sudah ya Sher, sepertinya sms ayah panjang sekali ini. Ayah mau
berangkat dulu yak e acara wisudamu. Tunggu ayah ya sayang”.
Begitulah
bunyi sms dari ayah, dan mataku lagi-lagi mengeluarkan air mata.
“sama-sama ayah”, hanya itu
kata-kata yang bisa terucap dari mulutku.
Seminggu
setelah kepergian ayah. Dan saat itu hujan deras. Hujan yang masih menyisakan
kesedihan di hatiku.
Pintu
rumahku seperti ada yang mengetuk. Ku buka pintu dan ternyata seorang tukang
pos membawakan sebuah surat untuk…aku? Surat apa ini? Setelah ku buka…
“bunda! Bunda! Sherine diterima di Farmasi UGM bun!”,
teriakku kegirangan.
“iya? Alhamdulillah Sher…”
Belum sempat
bunda menyelesaikan kalimatnya, aku langsung berlari keluar rumah dan berdiri
di bawah derasnya hujan sore itu.
“ayah! Ayah dimana? Ayah, lihat aku! Aku bawa surat ini yah!
Aku diterima menjadi salah satu mahasiswi Farmasi di UGM. Aku bisa menjadi alumni
UGM kayak ayah. Ayah dimana? Kenapa ayah ninggalin Sherine sama bunda?”,
teriakku di bawah hujan yang semakin deras menurunkan airnya.
“Sher, nggak baik hujan-hujanan kayak gini. Ayo masuk”,
bunda ternyata menyusulku keluar rumah.
“Sherine mau ketemu ayah dulu bun. Sherine mau ngeliatin
surat ini ke ayah. Ayha harus liat”.
Bunda
yang tak tega melihatkupun akhirnya ikut menangis.
“sherine masuk ya… ayah nanti sedih kalau liat kamu sedih
kayak gini. Masuk yuk. Ini payungnya”.
Bunda
benar, ayah pasti akan sedih kalau melihatku sedih seperti ini. Dan akhirnya
aku mengikuti bunda.
Ketika
tak sengaja ku tolehkan kepalaku ke belakang. Ku lihat ada…AYAH! Ia berdiri di
tengah-tengah hujan. Ayah tersenyum.
“ayah, makasih atas semuanya”, aku berteriak dengan keras,
berharap ayah bisa mendengar suaraku.
Ayah
tidak menjawabku. Tetapi ia melambaikan tangannya kepadaku. Aku pun
membalasnya. Kemudian ayah pergi dan menghilang. Untuk selamanya…
“kini aku harus lebih siap untuk menghadapi hari-hariku ke
depan. Tanpa kasih sayang dari ayah”, ucapku dalam hati.
Aku
pun masuk ke rumah menyusul bunda.
“pak, hari ini saya mau minta izin untuk menghadiri acara
wisuda putri saya”, ujar lelaki itu kepada bosanya.
“minta izin? Tidak bisa! Kamu tidak tahu kalau perusahaan
ini nyaris bangkrut karena banyaknya karyawan yang membolos kerja? Kepala
cabang macam apa kamu ini?”.
“tapi pak, saya minta izin satu kali ini saja”.
“sekali tidak tetap tidak. Mengerti?”.
“saya mohon pak, ini permintaan putrid saya. Bapak silakan
menyuruh saya untuk melakukan apapun, tapi saya mohon diberi izin satu kali ini
saja pak”.
“oke!gajimu akan saya potong setengah selama satu tahu.
Bagaimana?”.
Lelaki
itu bingung. Tapi demi apapun juga lelaki itu harus melakukannya. Hanya demi
putrid semata wayangnya. Sherine.
“oke pak. Saya terima”.
Lelaki
itu pun menjabat tangan atasannya dan kemudian pergi sambil mengetik sebuah
pesan engan handphonenya.
“apapun
akan ku lakukan demi putriku tercinta”, batin lelaki itu.
AYAH. LIHAT AKU!
Ini adalah sebuah kisah..
Tentang seorang anak…
Yang tidak menyadari…
Betapa berharganya…
Kasih sayang seorang ayah…
Teruntuk dirinya…
Oleh : Ramadhanur Kertaningrum
XII.IPA.I
SMA
“yah, besok Sherine ujian Bahasa Inggris, entar ayah ajarin
Sherine ya”, rajuk seorang anak kepada ayahnya.
“kenapa Sherine nggak belajar sendiri saja? Memangnya babnya
tentang apa?”,Tanya ayah.
“babnya reading yah…Sherine kan nggak begitu ngerti sama
kosa kata bahasa inggris. Ayah mau kan ajarin Sherine?”, rajuknya ;agi.
“iya iya. Tapi ayah makan dulu ya”, pinta ayah.
“oke yah”, jawab Sherine dengan nada gembira.
Perkenalkan, aku ada Sherine
nadia Putri. Aku adalah anak tunggal. Sekarang aku duduk di bangku Sekolah
Dasar kelas 5. Aku lahir di Jakarta, tetapi karena ayah dipindah tugaskan ke
Surabaya, maka kami sekeluarga pindah ke Surabaya. Oh iya, ayahku adalah
seorang dosen universitas di Surabaya, tepatnya di fakultas Ekonomi. Tetapi,
dosen bukanlah pekerjaan utama ayahku. Pekerjaan utamanya adalah kepala cabang
di salah satu perusahaan di kota Surabaya. Sedangkan bunda hanyalah seorang ibu
rumah tangga. Satu hal lagi yang perlu diketahui. Ayahku GALAK!!!
“trus kalo ‘tail’ artinya apa?”, Tanya ayah dengan suara
agak keras.
“hmmm…nggak tau yah:, jawabku seadanya.
“itu ka nada kamus di lemari, kenapa kamu nggak mencoba
mencari? Sekarang diambil dulu kamusnya!”, bentak ayahku lagi.
Akupun
mengambil kamus di lemari dan membawanya ke depan ayah.
“coba sekarang dicari artinya’tail’ itu apa”, perintah
ayahku.
“ini yah, artinya ekor”, jawabku.
“sekarang udah tau kan?”, Tanya ayahku.
“sudah yah”.
“kamu artiin satu cerita itu sekarang”, perintahnya.
Huft.
Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 23.30. tapi, aku masih belum selesai
menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia.
Selang
beberapa menit kemudian…
“gimana? Udah selesai belum?”, Tanya ayah sedikit melembut.
“udah kok yah”.
“mana coba ayah liat”.
Ayahpun
memeriksa jawabanku. Alhamdulillah tidak ada yang salah. Kalau ada mungkin aku
bakal lebih lama lagi buat dicramahin kayak tadi.
“ya sudah, sekarang kamu tidor, besok biar nggak kesiangan”.
“iya ayah.Sherine tidur dulu ya…”, pamitku kepada ayah.
Bukannya
aku pergi ke kamarku, tetapi aku malah ke kamar bunda.
“huh…sebel aku sama ayah”, rengekku sambil mendekati bunda.
“memangnya ayh kenapa lagi sih Sher? Kok kamu itu sering
banget sebel sama ayah”, heran bunda.
“habisnya sih ayah itu jadi orang kok galak buanget. Bunda
kok dulu mau sih sama ayah? Heran deh”, ocehku kepada bunda.
“hahaha…itu namanya ayah sayang sama Sherine. Makanya
Sherine diajarin yang betul-betul bener sama ayah. Biar Sherine itu nggak
sering salah”, nasihat bunda dengan lembut.
“tapi kan Sherine masih kecil, masak dibentak-bentak terus.
Sherine kan nggak suka bun”.
Belum
selesai perbincangan antara aku dan bunda, tiba-tiba ayah masuk ke dalam kamar.
Karena masih sebal dengan “kejadian” tadi, akupun langsung ngeluyur pergi ke
kamarku tanpa memedulikan usapan tangan ayah ke kepalaku.
“sherine kenapa bun?”, Tanya ayah heran.
“nggak tau itu, lagi ngambek mungkin. Ayah sih bentak-bentak
Sherine terus”, bela bunda.
“ya itu kan juga demi kebaikan Sherine. Oh ya bun, kemarin
ayah habis liat-liat tempat kursus musik. Apa lebih baik Sherine dileskan gitar
di sana ya?”.
“les? Kenapa nggak privat aja? Sherine kan nggak begitu suka
tempat yang banyak orangnya?”, usul bunda.
“iya juga ya. Besok coba ayah
Tanya lagi deh. Ada nggak yang buat les privat di rumah saja”.
Di
kamar Sherine…
“huuh…ayah tuh jadi orang keras
kepala banget sih. Sherine tuh nggak suka dibentak-bentak kayak tadi. Tau gitu
mending nggak usah belajar sama ayah deh daripada kena bentak. Sebel sebel. Ah
ngantuk ah, mau bobo dulu”, omel Sherine di depan cermin kamarnya.
Suasana
ujian berjalan dengan tenang. Alhamdulillah semua pertanyaan dapat ku jawab
dengan lancar.
“gimana ulangannya tadi? Bisa kan?”, Tanya bunda kepadaku
sepulang sekolah.
“Alhamdulillah sukses 100% bun”, jawabku senang.
“bisa juga kan akhirnya. Gih bilang makasih dulu ke ayah”.
“ah nggak mau ah”, tolakku.
“loh kok nggak mau? Kan semalam yang ngajarin Sherine ayah”.
“pokoknya nggak mau! Ayah galak!”, bentakku kepada bunda.
Akupun
pergi meninggalkan bunda yang masih terheran-heran dengan sikapku.
Malam
harinya di ruang makan…
“sherine besok mulai privat gitar ya”.
“loh? Ayah kok ngggak bilang dulu ke Sherine?”, heranku.
“kenapa harus dengan persetujuan Sherine? Kan jelas-jelas
music itu bagus. Jadi ayah yakinnya kamu pasti mau belajar music. Ayahnya aja
bisa, amasak anaknya enggak”.
“tapi Sherine tuh nggak suka music yah”.
“dicoba dulu aja. Siapa tahu kamu nanti malah cinta banget
sam music”.
“huft… iya deh. Sherine coba dulu”.
Aku
tak tahu sampai kapan ayah akan seperti ini.
Akhirnya
aku pun les privat gitar di rumah. Gurunya cowok, namanya Pak Anwar.
“coba kita belajar dari dasar dulu ya…kunci A sama D dulu”,
pinta Pak Anwar.
“kok susah ya…jariku pendek tau pak”, keluhku.
“kan baru belajar, jadi memang masih susah. Entar kalu udah
biasa pasti bisa”.
“oke oke”.
Les
gitar yang aku jalani berlangsung lumayan lama. Sekitar 1,5 tahun. Itupun
karena terpaksa. Ayahnya yang suka music, kenapa anaknya juga harus belajar
musik? music itu kan susah.
Bulan berganti bulan…
Tahun berganti tahun…
Kini
aku memasuki usia 12 tahun dan duduk di bangku SMP kelas satu. Banyak hal yang
telah diajarkan oleh kedua orangtuaku, terutama ayah. Ayah sangat memperhatikan
masalah belajarku, apalagi MIPA dan Bahasa Inggris. Dan tidak hanya itu, ayah
juga selalu memperkenalkan music dan berbagai macam olah raga. Renang dan bulu
tangkis di antaranya. Sayangnya, gitar yang sudah aku pelajari selama 1,5 tahun
nyaris sama sekali tidak ada hasilnya.
Sementara
oalh raga renang, Alhamdulillah ilmu yang diajarkan oleh pelatihku bisa aku
tangkap dengan baik. Kalau bulutangkis, aku diajarkan oleh ayahku sendiri.
Sampai terkadang aku lelah sekali “dipermainkan” saat bermain bulu tangkis
bersama ayah.
Esok
harinya di kelas…
“sher…kamu bisa main gitar kan?”, Tanya Nina, salah satu
teman sekelasku.
“bisa sih…tapi udah agak lupa tauk Nin”.
“yah kok bisa lupa sih. Bulan depan tuh ada acara pensi dari
anak kelas 3. Ya lumayanlah kalau kita yang masih junior ini ngasih hiburan
gitu”.
“iya sih. Tapi aku emang bener-bener llupa. Kalau metodhenya
sih lumayan inget. Tapi kuncinya itu yang lupa”.
“coba dulu yuk. Sapa tau bisa gitu. Suaramu kan juga lumayan
bagus tuh Sher”, rayu Nina.
“iya deh”.
Huft…
padahal akukan nggak suka music. Tapi ini peluang besar juga buatku untuk
menguji kepercayaan diriku. Lagian kasihan ayah. Masak anak semata wayangnya
ini nggak bisa main music kayak ayahnya. Ah coba aja deh.tapi ayah nggak boleh
tau hal ini. Ayahkan taunya aku nggak suka music. Gengsi!
“eh tapi aku belajarnya nggak mau di rumahku lho ya”.
“kenapa gitu Sher?”.
“ya pokoknya lah. Gimana?”.
“ya udah deh di rumahku aja atau enggak di rumah
temean-teman yang lain”.
“sip makasih”, ujarku sambil memeluknya.
“ihh ilfeel tauk”.
“haha…ya nggak papa lah sekali-kali”.
“wuuu.. aneh deh ini anak”.
Aku pun
pulang ke rumah dengan hati gembira. Nggak tahu kenapa aku pengen banget
berterimakasih sama ayah buat segalanya. Mungkin dulu pemikiranku masih terlalu
dini untuk mempelajari karakter ayah. Padahal, sebenarnya ayah itu baik, baik
banget malahan. Cuma, akunya aja nih yang bandel. Diomongin bener-bener malah
ngebantah mulu. Syukurlah kini aku telah sadar, bahwa betapa berharganya kasih
sayang ayah yang beliau berikan kepadaku.
“kenapa Sher? Kok senyam-senyum sendiri?”, Tanya bunda
mengagetkanku.
“eh bunda. Nggak ada apa-apa kok”, ucapku berbohong.
“seneng kenapa hayo? Lagi jatuh cinta ya”, goda bunda.
“ih bunda tuh apaan sih. Enggak juga bun”.
"Ah masak?”.
“bunda tuh lhooo…”.
Aku pun
mengejar bunda sampai kami kelelahan berlari dan saling menghindar. Dan
akhirnya berhenti.
“capek tau bun”.
“ya kamu sih pake kejar-kejar bunda segala”.
“ya masalahnya bunda godain Sherine terus sih”.
“tapi suka kaaan…”.
“tuh kan bunda mulai lagi”.
Kami
pun berkejar-kejaran lagi di dalam rumah. Ibu dan anak macam apa ini? Haha
Satu bulan kemudian…
“gimana? Udah siap belum kalian?”, Tanya salah satu panitia
acara pensi.
“tinggal nunggu Sherine aja kak. Katanya dia kejebak macet.
Lagi ada demo di depan kantor walikota”.
“oh gitu. Ya udah, segera hubungin dia lagi aja. Masalahnya
bentar lagi kalian maju”.
“iya kak. Kami akan segera ngehubungin Sherine”.
“emang dia megang apa?”.
“gitar sama vocal kak”.
“wah penting juga tuh. Ya udah, hubungi segera gih. Aku mau
ke depan dulu ya. Good luck deh buat kalian!”, sambil menepuk salah satu bahu
anak-anak itu.
“makasih kak”.
“kembali kasih”.
Sepuluh
menit kemudian…
“aduh maaf ya. Tadi tuh bener-bener macet”.
“iya-iya nggak papa. Udah yuk kita kumpul bentar. Bentar
lagi maju nih kita”.
“oke oke”.
Baru
kali ini kami tampil di atas panggung. Betapa gugupnya kami. Apalagi tidak ada
persiapan sama sekali sebelum maju. Padahal seharusnya ada. Gara-gara macet
tadi sih. mana yang dating juga lumayan banyak. Semoga hasil yang kami harapkan
dapat terwujud. Amin.
“oke. Kali ini adalah hiburan dari kelas 7A yang diketuai oleh
Sherine Nadia Putri sebagai gitaris dan vokalis. Wah wah, multitalent sekali ya
anak ini. Baik, untuk mempersingkat waktu, mari kita sambut perwakilan dari
kelas 7A. beri tepuk tangan yang meriah”, ucap seorang MC pada acara itu.
Tepuk
tangan dari para undangan semakin membuat kami grogi. Tapi untunglah, karena
tidak semua orang yang hadir mengenal siapa kami.
“assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, salamku
kepada semua yang hadir.
“wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh”, jawab mereka
serempak.
“oke. Kami di sini berdiri sebagai
perwakilan dari kelas 7A yang akan membawakan 2 buah lagu yang sudah tidak
asing lagi bagi kalian. Well, Let’s check it out!”.
Kami pun
sukses membawakan 2 buah lagu yang berjudul SAHABAT dan SEPERTI YANG KAU MINTA.
Tepuk tangan yang meriah mengakhiri lagu yang kami bawakan. Bahkan ada saja
yang meminta kami untuk menyanyikan lagu lagi.
“wah wah…kayaknya bakalan punya
banyak fansnya nih Sherine dkk. Selamat ta buat kalian karena telah merebut
hati para penonton. Cie cie. Oke kita lanjutkan ke inti acara…”, sang MC pun
melanjutkan acara pensi tersebut.
“huh… Alhamdulillah ya akhirnya
lancar juga”, ucap salah satu personal kami.
“he’em..kalian nggak tahu ya aku
tadi nyanyi lho groginya minta ampun”.
“haha… tapi bagus kok Sher.
Berterimakasih tuh sama ayahmu udah nurunin kemampuan yang bagus dan ditambah
les privat gitar”.
“iya deh entar aku bilang ke
ayahku”.
“lagian rugi banget kali Sher.
Masak udah les lama-lama tapi nggak dikembangin”.
“hehe”
Makasih
ayah, ucapku dalam hati.
Hari ke
hari usiaku terus bertambah. Kini aku memasuki usia remaja. Usia para anak
Sekolah Menengah Atas (SMA). Aku bertekad untuk bisa mengucapkan terimakasihku
kepada ayah. Mengingat usiaku yang bertambah terus dan kondisi ayah yang
semakin tua.
“sher, besok mau nyoba manggung nggak di sekolahnya
temenku?”, ajak salah satu teman seangkatanku, tapi tidak sekelas.
“acara apa emangnya?”.
“biasalah pensi. Ya lumayan gitu, kita kan entar juga
dibayar mereka”.
“hmmm… boleh deh. Anak-anak yang lain gimana? Pada mau
ngggak tuh?”.
“mereka udah ku tanyain satu-satu kok. Kata mereka sih
oke-oke aja”.
“ya udah deh aku ngikut aja”.
“oke-oke. Kalau gitu aku hubungin temenku dulu ya”.
“sip”.
Ya
Allah, aku pengen ayah tau kalau aku ternyata juga mewarisi bakat ayah.
Menyanyi dan bermain music. Tapi kapan ya aku bisa nunjukinnya? Aku baru sadar,
kalau ternyata aku punya seorang ayah yang benar-benar hebat, batinku.
Tak
terasa kini aku sudah menduduki bangku kelas XII SMA. Secepat itu ya aku tumbuh
besar seperti ini.
“yah, besok aku kuliah kira-kira ambil jurusan apa ya
bagusnya?”.
“kenapa nggak ambil kedokteran saja?”.
“ya ampun yah. Nilai biologiku aja nggak nyampe 8. Lagian
Sherine nggak begitu suka sama pelajaran itu. Takutnya kalau ternyata lolos ke
kedokteran tapi malah nggak bisa ngikutin kan rugi di Sherine juga yah”.
“coba aja Farmasi UGM kalau gitu”.
“hmm… boleh juga yah. Nilai kimia Sherine juga mendukung.
Ayah tuh pengen banget ya Sherine masuk ke UGM?”.
“haha… ayahkan alumni sana. Jadi ayah juga pengen anak ayah
nanti bisa jadi alumni UGM juga”.
“iya deh yah entar Sherine bakal berusaha”.
“nah gitu dong. Itu baru namanya anaka aya”.
“hehe…oke-oke”.
Hari
ini tepat tanggal 7 November. Hari ulang tahun ayah.
“bun, hari ini ayah ulang tahun kan?”.
“iya. Kenapa Sher?”.
“nggak papa kok bun”.
Wah
ayah ulang tahun. Enaknya ngucapinnya kayak gimana ya? Pengen yang nyentuh
tauk.tapi apa ya? Oh ya, aku ada ide!
“halo. Dengan PT.CENCON SURABAYA, ada yang bisa dibantu?”,
jawab salah seorang pegawai ayahku.
“halo mbak, ini Sherine. Ayah ada nggak?”.
“oh Sherine, ada kok, sebentar ya…”.
“ok”.
Tak
lama kemudian…
“halo Assalamu’aikum Sher. Ada apa nak?”.
“wa’alaikumsalam. Nggak ada apa-apa kok yah. Ayah lagi sibuk
nggak?”.
“kenapa emangnya?”.
“lagi sibuk dulu nggak?”.
“kenapa Sher?”.
“hmm…ayah, ayah dengerin Sherine nyanyi ya…”.
“oh…iya iya”.
“teringat masa kecilku. Kau peluk dank au manja…”, lagupun
kunyanyikan hingga akhir bait.
Nyaris
saja aku menangis saat menyanyikan lagu itu. Tapi aku ingat, ini adalah hari bahagia
ayah. Jadi, aku tidak boleh menangis.
“sudah yah. Selamat ulang tahun ya ayah”, ucapku kepada ayah
dengan nada benar-benar bahagia.
“haha…iya iya…makasih ya nak. Itu judul lagunya apa?”.
“yang terbaik bagimu”.
“lagunya Melly itu bukan?”.
“bukan yah…Melly itu nyanyi yang judulnya Bunda”.
“ooh… trus yang tadi itu lagunya siapa Sher?”.
“tadi itu lagunya Ada Band sama Gita Gutawa”.
“kok Sherine inget hari ini ulang tahun ayah?”.
“iya dong. Sherine kan pengingat yang baik”.
“haha…gitu ya? Tapi kok lagunya nggak ada kata-kata selamat
ulang tahun Sher?”.
“loh kan nggak harus ada yah. Yang penting do’anya Sherine
kayak lagu tadi”.
“oh iya iya. Semoga dikabulkan ya apa do’anya Sherine”.
“iya. Amin…seduah dulu ya yah, Sherine mau belajar.
Assalamu’alaikum”.
“wa’alaikumussalaam”.
Gagang
telepon rumahkupun ku tutup.
“ya Allah, terimakasih. Aku senneg banget, akhirnya bisa
bicara se”romantic” itu ke ayah. Dan tadi ayah tertawa! Bukan menangis! Padahal
tadi itu aku udah pengen banget nangis. Terimakasih ya Allah, aku diberi
kesempatan seberharga itu. Pokoknya aku harus nunjukkin ke ayah kalau aku bisa
menjadi anak yang diharapkan ayahku dan bundaku juga tentunya”, janjiku di
dalam hati.
Try out dan ujian pun berlalu.
Hari ini aku mengajukan nilaiku untuk mengisi persyaratan pada SNMPTN jalur
undangan. Dan pilihanku pastinya adalah Farmasi UGM. Aku harap semoga aku bisa
masuk ke sana dan menjadi alumni UGM seperti ayah. Amin.
Waktu
tak terasa bergerak begitu cepat. UAN, UAS, dan Ujian Praktek telah kulalaui.
Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh semua siswa dan siswi kelas XII,
yaitu wisuda. Dan kebetulan aku juga diberi kesempatan untuk menyanyikan
beberapa buah lagu di atas panggung wisuda ebrsama-sama teman-temanku tentunya.
“halo ayah”.
“iya kenapa Sher? Kok buru-buru?”.
“ayah entar dating kan?”.
“wah ayah lagi sibuk Sher. Kebetulan bos ayah lagi ke kantor
yang di Surabaya ini. Maaf ya”.
“ayolah yah…masak Cuma bunda aja yang dating? Sherine maunya
ayah juga dating”.
“hmm… entar ayah coba dulu deh. Tapi ayah nggak janji tepat
waktu ya”.
“nggak papa yah. Yang penting ayah bisa dating di wisudaku”.
“iya anakku sayang”.
“oke ayah, udah dulu ya, acaranya mau di mulai.
Assalamu’alaikum”.
“wa’alaikumsalaam”.
Acara
wisuda pun di mulai dengan lancar. Aku menunggu ayah. Tapi, mengapa ayah tidak
dating-datang juga?
“siswi dengan nilai UAS terbaik tahun ini adalah Sherine
Nadia Putri dari kelas XII.IPA.1 dengan rata-rata nilai 89,7. Kepada ananda
Sherine diharapkan untuk naik ke atas panggung”.
Aku
pun maju ke atas panggung dengan tepuk tangan yang meriah dari para undangan,
teman-teman, dan tentunya guru-guruku. Tapi…Ayah belum juga dating
“hari ini anakku wisuda. Aku harus bia dating untuk
melihatnya. Semoga aku tidak terlambat”, harap lelaki itu di dalam hati.
Dengan
kecepatan penuh lelaki itu mengendarai motor menuju gedung wisuda. Tetapi, di
tengah perjalanan, ada sebuah motor dengan kecepatan penuh pula melaju
berlawanan arah dengannya. Karena tak sempat menghindar, ia terlempar keras ke
tengah jalan dan terkindas mobil yang sedang melaju. Nyawa lelaki itu tak
terselamatkan…
Di
gedung wisuda…
“ayah mana ya?”, batinku cemas.
“selamat ya Sherine. Nilainya dipertahankan terus ya di
kuliah nanti”.
“insya Allah bu”, aku mencium tangan kepala sekolahku.
Tiba-tiba
terlihat keributan di sekitar tempat bunda duduk. Bunda….pingsan? ada apa ini?
Aku segera berlari turun dari atas panggung. Firasatku tidak enak. Entah
mengapa, yang terlintas dibenakku adalah ayah. Ya Allah… semoga tak ada hal
buruk yang terjadi pada kedua orang tuaku.
Wali
kelasku yang lebih dulu turun langsung memelukku erat. Aku bingung. Beliau
membisikkanku sebaris kalimat yang membekukanku seketika.
“innalillahi wainna ilaihi roji’un”, hatiku pilu diiris
sembilu.
Sungguh,
aku…
Bulir
air mataku menetes. Tak terasa semakin deras. Aku dan beberapa tamu undangan
segera mebawa bunda ke UKS.
Satu
jam telah berlalu. Tetapi bunda tak sadarkan diri juga. Aku sudah tak peduli
lagi dengan prosesi wisuda. Padahal seharusnya sekarang, aku dan teman-teman menyanyi
di atas sana. Yang sedang kupikirkan saat ini adalah ayah. Aku masih saja tak
percaya akan hal itu.
Lama
berpikir tentang ayah, akhirnya akupun tertidur di samping kasur bunda.
“ayah lihat ini!”, banggaku kepada ayah sambil
memperlihatkan serifikat yang menunjukkanku sebagai siswi teladan di seolah.
“aku berhasil ayah”.
“Alhamdulillah. Betul kana pa kata ayah, kalau kamu mau
berusaha keras, pasti bisa. Sekarang Sherine mau minta hadiah apa dari ayah?”,
Tanya ayah kepadaku.
“Sherine nggak mau apa-apa. Sherine Cuma mau ayah selalu ada
bersama Sherine”, pintaku.
“umur ayah kan belum tentu
panjang Sherine”, jawab ayahku.
Teringat
masa kecilku…kau peluk dank au manja…indahnya saat itu…
Aku pun
tersentak bangun dari tidurku. Ternyata itu suara ringtone handphoneku.
“ya Allah, aku habis bermimpi tentang ayah”,batinku.
Aku
segera mengambil handphoneku yang dari tadi ku tinggal di dalam tas bunda.
Begitu banyak sms dari teman-teman yang mengucapkan selamat dan juga duka cita
atas meninggalnya ayah. Tapi…tunggu…ada sms dari AYAH! Nyaris saja air mataku
menetes lagi jika mengingat ayah. Lalu ku buka sms dari ayah.
“Sherine sayang, ini ayah sedang usahakan agar bisa
menghadiri acara wisudamu. Tapi maaf, sepertinya akan benar-benar terlambat.
Maaf ya sayang. Ayah yakin, walaupun ayah tidak bisa hadir, Sherine sudah
memberikan yang terbaik untuk ayah, seperti lagu yang Sherine nyanyikan saat
ulang tahun ayah. Ingat kan Sher? Makasih ya sayang, ayah sebenarnya terharu
sekali mendengar Sherine menyanyikan lagu itu untuk ayah. Ayah tidak menyangka
sekali. Ayah berdo’a semoga Sherine kelak bisa menjadi orang yang berguna bagi
siapa saja. Sudah ya Sher, sepertinya sms ayah panjang sekali ini. Ayah mau
berangkat dulu yak e acara wisudamu. Tunggu ayah ya sayang”.
Begitulah
bunyi sms dari ayah, dan mataku lagi-lagi mengeluarkan air mata.
“sama-sama ayah”, hanya itu
kata-kata yang bisa terucap dari mulutku.
Seminggu
setelah kepergian ayah. Dan saat itu hujan deras. Hujan yang masih menyisakan
kesedihan di hatiku.
Pintu
rumahku seperti ada yang mengetuk. Ku buka pintu dan ternyata seorang tukang
pos membawakan sebuah surat untuk…aku? Surat apa ini? Setelah ku buka…
“bunda! Bunda! Sherine diterima di Farmasi UGM bun!”,
teriakku kegirangan.
“iya? Alhamdulillah Sher…”
Belum sempat
bunda menyelesaikan kalimatnya, aku langsung berlari keluar rumah dan berdiri
di bawah derasnya hujan sore itu.
“ayah! Ayah dimana? Ayah, lihat aku! Aku bawa surat ini yah!
Aku diterima menjadi salah satu mahasiswi Farmasi di UGM. Aku bisa menjadi alumni
UGM kayak ayah. Ayah dimana? Kenapa ayah ninggalin Sherine sama bunda?”,
teriakku di bawah hujan yang semakin deras menurunkan airnya.
“Sher, nggak baik hujan-hujanan kayak gini. Ayo masuk”,
bunda ternyata menyusulku keluar rumah.
“Sherine mau ketemu ayah dulu bun. Sherine mau ngeliatin
surat ini ke ayah. Ayha harus liat”.
Bunda
yang tak tega melihatkupun akhirnya ikut menangis.
“sherine masuk ya… ayah nanti sedih kalau liat kamu sedih
kayak gini. Masuk yuk. Ini payungnya”.
Bunda
benar, ayah pasti akan sedih kalau melihatku sedih seperti ini. Dan akhirnya
aku mengikuti bunda.
Ketika
tak sengaja ku tolehkan kepalaku ke belakang. Ku lihat ada…AYAH! Ia berdiri di
tengah-tengah hujan. Ayah tersenyum.
“ayah, makasih atas semuanya”, aku berteriak dengan keras,
berharap ayah bisa mendengar suaraku.
Ayah
tidak menjawabku. Tetapi ia melambaikan tangannya kepadaku. Aku pun
membalasnya. Kemudian ayah pergi dan menghilang. Untuk selamanya…
“kini aku harus lebih siap untuk menghadapi hari-hariku ke
depan. Tanpa kasih sayang dari ayah”, ucapku dalam hati.
Aku
pun masuk ke rumah menyusul bunda.
“pak, hari ini saya mau minta izin untuk menghadiri acara
wisuda putri saya”, ujar lelaki itu kepada bosanya.
“minta izin? Tidak bisa! Kamu tidak tahu kalau perusahaan
ini nyaris bangkrut karena banyaknya karyawan yang membolos kerja? Kepala
cabang macam apa kamu ini?”.
“tapi pak, saya minta izin satu kali ini saja”.
“sekali tidak tetap tidak. Mengerti?”.
“saya mohon pak, ini permintaan putrid saya. Bapak silakan
menyuruh saya untuk melakukan apapun, tapi saya mohon diberi izin satu kali ini
saja pak”.
“oke!gajimu akan saya potong setengah selama satu tahu.
Bagaimana?”.
Lelaki
itu bingung. Tapi demi apapun juga lelaki itu harus melakukannya. Hanya demi
putrid semata wayangnya. Sherine.
“oke pak. Saya terima”.
Lelaki
itu pun menjabat tangan atasannya dan kemudian pergi sambil mengetik sebuah
pesan engan handphonenya.
“apapun
akan ku lakukan demi putriku tercinta”, batin lelaki itu.
Minggu, 20 November 2011
mencintainya dalam diam
Mencintai seseorang bukan hal yang mudah. Bagi sebagian orang, termasuk aku tentunya, mencintai orang merupakan proses yang panjang dan melelahkan. Lelah ketika kita dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak seimbang antara akal sehat dan nurani. Lelah ketika kita harus menuruti akal sehat untuk berlaku normal meski semuanya menjadi abnormal. Lelah ketika mata menjadi buta akibat dari perasaan yang membius tanpa ampun. Lelah ketika imaginasi menjadi liar oleh khayalan yang terlalu tinggi. Lelah ketika pikiran menjadi galau oleh harapan yang tidak pasti. Lelah untuk mencari suatu alasan yang tepat untuk sekedar melempar sesimpul senyum atau sebuah sapaan "apa kabar...". Lelah untuk secuil kesempatan akan sebuah moment kebersamaan. Lelah untuk menahan keinginan untuk melihatnya. Lelah untuk mencari secuil kesempatan menyentuh atau membauinya. Lelah dan lelah dan lelah..
Hanya sebuah sikap diam dan keheningan yang lebih aku pilih.Diam menunggu sang waktu memberi sebuah moment. Diam untuk mencatat segala yang terjadi. Diam untuk memberi kesempatan otak kembali dalam keadaan normal. Diam untuk mencari sebuah jalan keluar yang mustahil. Diam untuk berkaca pada diri sendiri dan bertanya "apakah aku cukup pantas?" Diam untuk menimbang sebuah konsekuensi dari rasa yang harus dipendam. Diam dan dalam diam kadang semuanya tetap menjadi tak terarah. Dan dalam diam itu pula, aku menjadi gila karena sebuah rasa dan pesona tetap mengalir.
Sayangnya, dalam keheningan dan diam yang aku rasakan,lebih banyak rasa galau daripada sebuah usaha untuk mengembalikan pola pikir yang lebih logis. Galau ketika mata terus meronta untuk sebuah sekelibat pandangan. Galau ketika mulut harus terkatup rapat meski sebuah kesempatan sedikit terbuka. Galau ketika mencintai menjadi sebuah pilihan yang menyakitkan. Galau ketika mencintai hanya akan menambah beban hidup. Galau ketika menyadari bahwa segalanya tidak akan pernah terjadi. Galau ketika tanpa disadari harapan terlanjur membumbung tinggi. Galau ketika semua bahasa tubuh seperti digerakan untuk bertindak bodoh.
Apakah mencintai seseorang senantiasa membuat orang bodoh? Tentu tidak. Namun itu pula yang aku rasakan selama ini, yah walaupunbaru saja itu terjadi. Dalam kelelahan, diam dan kegalauan yang aku rasakan selama ini, ada rasa syukur atas berkat dari Sang Hidup atas apa yang aku alami. Syukur ketika rasa pahit menjadi bagian dari mencintai seseorang. Syukur ketika berhasil memendam semua rasa untuk tetap berada pada zona diam. Syukur untuk sebuah pikiran abnormal namun tetap bertingkah normal. Syukur ketika rasa galau merajalela tak terbendung. Syukur ketika rasa perih tak terhingga datang menyapa. Syukur karena tak ditemukannya sebuah nyali untuk mengatakan "Aku mencintaimu". Syukur ketika perasaan hancur lebur menjadi bagian dari mencintai. Syukur ketika harus menyembunyikan rasa sakit dan cemburu dalam sebaris ucapan "aku baik - baik saja". Syukur atas rahmat hari yang berantakan akibat rasa pedih yang teramat dalam.
Akhirnya, bagi aku, keputusan untuk mencintai melalui sebaris doa menjadi pilihan yang paling pantas. Setidaknya, mencintai secara tulus melalui doa, dalam tradisi agama yang aku anut, akan menjadi lebih bermakna,karena aku diteguhkan dan menjadi berkat atas segala rasa perih yang senantiasa ada didalam diri. Dalam doa, akhirnya, semuanya kita kembalikan kepada Sang Hidup. Bahwa mencintai seseorang itu seperti memanggul sebuah beban. Bahwa terkadang akal dan perasaan campur aduk tak tentu arah. Bahwa aku juga bukan manusia super. Bahwa aku juga tidak bisa berlaku pintar sepanjang waktu, setiap hari. Bahwa aku juga punya kebodohan yang kadang susah untuk diterima akal sehat. Bahwa dengan segala kekurangan yang ada, aku berani mencintai. Bahwa aku bersedia membayar harga dari mencintai seseorang. Bahwa aku bersedia menanggung rasa sakit yang luar biasa. Bahwa aku mampu untuk tetap hidup meski rasa perih terus menjalar. Bahwa aku masih memiliki rasa takut akan kehilangan dalam hidup.
Dan hari ini, dari semua pembelajaran yang telah aku terima, berkembang menjadi sebuah bentuk KEPASRAHAN. Sebuah Zona yang terbentuk karena aku merasa tidak berdaya. Dimana aku merasa tidak memiliki kemampuan untuk membuat segalanya menjadi mungkin. Dimana aku tidak berani untuk membangun sebuah harapan. Dimana aku tidak berani untuk mengatakan "Aku mencintaimu, mari kita pastikan segalanya, dan semuanya, hanya untuk kita berdua saja." Dan ini adalah pilihan terakhir yang saya miliki, mencintai dalam kepasrahan, tanpa berharap dan tanpa meminta. Meski sangat susah dan hampir mustahil bagiku untuk tidak mengingatnya.
Semoga aku bisa. Dan hingga hari ini, aku masih mencintainya. Aku sadar hal itu akan memberi rasa perih yg teramat dalam karena bagiku, lebih susah untuk tidak mencintainya. Aku sadar ini adalah sebuah beban yang harus aku pikul. Dalam perjalanan yang melelahkan, dalam diam dan keheningan.Dan tentunya dalam sebuah KEPASRAHAN yang teramat dalam.
Hanya sebuah sikap diam dan keheningan yang lebih aku pilih.Diam menunggu sang waktu memberi sebuah moment. Diam untuk mencatat segala yang terjadi. Diam untuk memberi kesempatan otak kembali dalam keadaan normal. Diam untuk mencari sebuah jalan keluar yang mustahil. Diam untuk berkaca pada diri sendiri dan bertanya "apakah aku cukup pantas?" Diam untuk menimbang sebuah konsekuensi dari rasa yang harus dipendam. Diam dan dalam diam kadang semuanya tetap menjadi tak terarah. Dan dalam diam itu pula, aku menjadi gila karena sebuah rasa dan pesona tetap mengalir.
Sayangnya, dalam keheningan dan diam yang aku rasakan,lebih banyak rasa galau daripada sebuah usaha untuk mengembalikan pola pikir yang lebih logis. Galau ketika mata terus meronta untuk sebuah sekelibat pandangan. Galau ketika mulut harus terkatup rapat meski sebuah kesempatan sedikit terbuka. Galau ketika mencintai menjadi sebuah pilihan yang menyakitkan. Galau ketika mencintai hanya akan menambah beban hidup. Galau ketika menyadari bahwa segalanya tidak akan pernah terjadi. Galau ketika tanpa disadari harapan terlanjur membumbung tinggi. Galau ketika semua bahasa tubuh seperti digerakan untuk bertindak bodoh.
Apakah mencintai seseorang senantiasa membuat orang bodoh? Tentu tidak. Namun itu pula yang aku rasakan selama ini, yah walaupunbaru saja itu terjadi. Dalam kelelahan, diam dan kegalauan yang aku rasakan selama ini, ada rasa syukur atas berkat dari Sang Hidup atas apa yang aku alami. Syukur ketika rasa pahit menjadi bagian dari mencintai seseorang. Syukur ketika berhasil memendam semua rasa untuk tetap berada pada zona diam. Syukur untuk sebuah pikiran abnormal namun tetap bertingkah normal. Syukur ketika rasa galau merajalela tak terbendung. Syukur ketika rasa perih tak terhingga datang menyapa. Syukur karena tak ditemukannya sebuah nyali untuk mengatakan "Aku mencintaimu". Syukur ketika perasaan hancur lebur menjadi bagian dari mencintai. Syukur ketika harus menyembunyikan rasa sakit dan cemburu dalam sebaris ucapan "aku baik - baik saja". Syukur atas rahmat hari yang berantakan akibat rasa pedih yang teramat dalam.
Akhirnya, bagi aku, keputusan untuk mencintai melalui sebaris doa menjadi pilihan yang paling pantas. Setidaknya, mencintai secara tulus melalui doa, dalam tradisi agama yang aku anut, akan menjadi lebih bermakna,karena aku diteguhkan dan menjadi berkat atas segala rasa perih yang senantiasa ada didalam diri. Dalam doa, akhirnya, semuanya kita kembalikan kepada Sang Hidup. Bahwa mencintai seseorang itu seperti memanggul sebuah beban. Bahwa terkadang akal dan perasaan campur aduk tak tentu arah. Bahwa aku juga bukan manusia super. Bahwa aku juga tidak bisa berlaku pintar sepanjang waktu, setiap hari. Bahwa aku juga punya kebodohan yang kadang susah untuk diterima akal sehat. Bahwa dengan segala kekurangan yang ada, aku berani mencintai. Bahwa aku bersedia membayar harga dari mencintai seseorang. Bahwa aku bersedia menanggung rasa sakit yang luar biasa. Bahwa aku mampu untuk tetap hidup meski rasa perih terus menjalar. Bahwa aku masih memiliki rasa takut akan kehilangan dalam hidup.
Dan hari ini, dari semua pembelajaran yang telah aku terima, berkembang menjadi sebuah bentuk KEPASRAHAN. Sebuah Zona yang terbentuk karena aku merasa tidak berdaya. Dimana aku merasa tidak memiliki kemampuan untuk membuat segalanya menjadi mungkin. Dimana aku tidak berani untuk membangun sebuah harapan. Dimana aku tidak berani untuk mengatakan "Aku mencintaimu, mari kita pastikan segalanya, dan semuanya, hanya untuk kita berdua saja." Dan ini adalah pilihan terakhir yang saya miliki, mencintai dalam kepasrahan, tanpa berharap dan tanpa meminta. Meski sangat susah dan hampir mustahil bagiku untuk tidak mengingatnya.
Semoga aku bisa. Dan hingga hari ini, aku masih mencintainya. Aku sadar hal itu akan memberi rasa perih yg teramat dalam karena bagiku, lebih susah untuk tidak mencintainya. Aku sadar ini adalah sebuah beban yang harus aku pikul. Dalam perjalanan yang melelahkan, dalam diam dan keheningan.Dan tentunya dalam sebuah KEPASRAHAN yang teramat dalam.
Langganan:
Postingan (Atom)